ADAT
SIANJUR
suatu telaah budaya -
memahami ajaran moral Tarombo Siregar Akkola Dolok
relevansi positif
terhadap peradaban modern
oleh: Ida Syaffira
Siregar
Adat Sianjur adalah
ajaran moral yang berisi petunjuk untuk mengangkat derajad manusia agar memiliki
sifat-sifat kemanusiaan yang luhur. Adat Sianjur ini disampaikan secara turun
temurun pada zaman kerajaan Siregar Akkola Dolok. Dahulu kala setiap tahun
sehabis potong padi, diadakan horja
makan yang disudahi dengan paralong-alongan. Dalam paralong-alongan inilah raja
menceritakan Tarombo Harajaan Siregar Akkola Dolok yang diantaranya berisi adat
Sianjur.
Adat Sianjur secara formal ditetapkan
pada Bittang 349 bertepatan dengan Masehi 1386 di huta Sianjur oleh Harunkan Nagalottung,
yang pada tahun itu dinobatkan sebagai Raja Batak. Naskahnya disusun oleh Raja
Ronggur Laut pada B 816 (M 1853) dengan memakai huruf Batak, Dalam naskah
Ronggur Laut disebutkan bahwa Nagalottung Si Raja Batak menurunkan sejumlah
marga seperti Siregar, Sinaga, Situmorang, Simatupang, Aritonang, Nainggolan,
Siagian dsb. Adat Sianjur yang lebih banyak merupakan ajaran moral, dalam bahasa
Tapanuli disebut poda-poda merupakan
harapan Si Raja Batak untuk meningkatkan harkat orang Batak supaya lebih
bermartabat, memiliki sifat yang lebih baik, lemah lembut, penuh kasih sayang,
cinta damai dsb.
Penulis merasa perlu menyusun ulang
tulisan ini untuk masyarakat Tapanuli, terutama yang ada di rantau supaya tidak
lupa pada akar budayanya. Lebih jauh lagi, adat Sianjur sebagai warisan nenek
moyang dapat menjadi wacana untuk meninjau perilaku modern yang saat ini
mengalami dekadensi moral. Warisan ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat
Tapanuli semata, khususnya keturunan Siregar Akkola Dolok tetapi dapat meluas
dan lebih bersifat global karena spirit yang terkandung didalamnya mempunyai
makna universal. Dapat dikatakan, adat Sianjur merupakan salah satu khazanah
kekayaan budaya bangsa Indonesia yang patut diperhatikan.
Adat Sianjur dibuat berdasarkan ajaran
agama Islam, dalam naskah Ronggur
Laut
dituturkan dalam bentuk peribahasa dan berisi petuah-petuah yang dituangkan
menjadi dua puluh tiga (23) pangkal adat. Dibawah ini, penulis sadur isi adat
Sianjur, disusun urut dari satu sampai dua puluh tiga, lengkap dengan bahasa
aslinya (Batak). Supaya mampu memberi gambaran kepada para pembaca betapa dalam
makna ajaran moral yang terkandung dalam adat Sianjur ini.
BONA NI ADAT,
ADAT SIANJUR
Terjemahannya ditandai
dengan (T), maksudnya ditandai dengan
(M), ajaran moralnya ditandai dengan (A).
1. Bona ni adat na parjolo i
ma: Nada
ajaran utte marduri, tubu utte, tubu do durina.
Asa on ma na
martulimbahon tu daganak: Tubu muda tubu daganak, diobansa do parro-haan dohot
parange ni ama-ina sanga oppuna sian bortian tu hasiangan di portibi on. Muda na
denggan parrohaan dohot parange ni ama-ina sanga oppuna i asa marroha na denggan
mar parange na denggan ma ibana di portibi on.
Asa sahonok daganak nada do pe dibotoisa
songon dia na tama to ngolu na dung dipato-bang adat. Asa parroha ni dagingna do
pe na paihut-ihutonna. Asa sahonok daganak parroha dohot parangena ra songon
hewan. Asa sahonok daganak masuk di tirkat na parjolo i ma na nidok napsu amarah na mangihutkon hagiot ni
dagingna sajo.
(T) Pangkal adat yang pertama adalah: Tiada ajaran jeruk berduri, tumbuh jeruk
tumbuh durinya.
Maka inilah
pengeterapannya kepada anak: Bila tumbuh anak, dibawanya isi hati dan perangai
orangtua dan neneknya mulai malam hingga siang di dunia ini. Bila isi hati dan
perangai orangtua dan neneknya baik, maka anak akan mempunyai hati dan perangai
yang baik. Selama jadi anak, ia belum tahu bagaimana yang layak untuk kehidupan
berumah tangga. Dia baru mengikuti kehendak dagingnya. Selama jadi anak, hati
dan perangainya seperti hewan (mengikuti naluri). Selama jadi anak, dia baru
pada tingkat pertama yang disebut nafsu
amarah, yaitu hanya mengikuti keinginan dagingnya.
(M) Maksudnya secara
ringkas: Anak tidak perlu diajari bertingkah, tumbuh anak tumbuh tingkahnya,
menurun dari orangtua dan neneknya. Ini sifat alamiah.
(A) Tidak semua jeruk
berduri. Demikian juga tidak semua anak bertingkah, ada juga anak yang baik-baik saja. Namun bila anak
memperlihatkan sifat buruk, orangtua harus pandai membimbingnya ke jalan yang
baik. Bila sifat anak keterlaluan, orangtua jangan emosi karena mungkin sifat
buruk itu diwarisinya dari nenek moyangnya. Sifat anak tergantung pada
perkembangan jiwanya, ada jiwa yang lebih matang dari pada yang lain. Jiwa
adalah sarangnya kebaikan, semakin matang jiwa, semakin besar kemampuan
untuk berbuat
baik.
2. Asa bona ni adat na paduahon i
ma: Mata guru, roha
sisean.
Asa on ma na
martulimbahon tu daganak na dung togap-togap marmahan dohot daganak na dung
mandoli manggaira, danak na dung sappe rudang, na dung mamujing, madung
di-botosa rugi-labo dohot markasayahon mata na marnida. Markasayahon ate-ate, na
manim-bang aha na niida ni mata, aha na binege ni pinggol, aha na dihilala ni
badanna.
Asa na
denggan diparangehonsa asa na jat diambungkonsa. Labo diparayak, rugi
diting-galhon. Tai laing hurang gogo do pe marayak na denggan maninggalhon na
jat, laing ma-nyoppo do pe dodas marparange dohot marroha na jat. Tai dohot
markasayahon mata dohot
ate-atena, muli-muli
tading ma na jat asa hot ma na denggan. Asa on ma na margoar jolma masuk tu
tirkat na paduahon na nidok napsu
lauwama, i ma hagiot na dung diparetta ni mata dohot ate-ate, nada be
mangihutkon hagiot ni daging sajo.
(T) Pangkal adat yang kedua adalah: Mata guru, hati
bacaan.
Maka inilah
pengeterapannya kepada anak yang tegap (kuat) mengembala dan anak yang telah
remaja bergairah, anak yang telah akil-balig (sappe rudang = akil-balig), yang sudah
tahu rugi-laba dan menggunakan mata
untuk melihat. Menggunakan hati untuk
menimbang, apa yang dilihat mata, apa yang didengar telinga, apa yang dirasakan
badan. Yang baik diperangaikannya, yang buruk dibuangnya. Laba dikejar, rugi
ditinggalkan. Tapi masih kurang kuat untuk mengejar kebaikan meninggalkan yang
buruk, masih lebih sering berperangai dan berhati buruk. Tetapi dengan
menggunakan mata dan hatinya, semakin tertinggal yang buruk dan semakin melekat
yang baik. Maka inilah yang dinamakan manusia memasuki tingkat kedua yang
disebut nafsu lauwama, yaitu keinginan telah
diperintah oleh mata dan hati, tidak lagi mengikuti kehendak daging
saja.
(M) Apa yang dilihat oleh
mata atau didengar oleh telinga, harus ditimbang, dipikirkan dalam hati untuk
diambil hikmahnya. Yang baik diambil, yang buruk dibuang.
(A) Mata harus dipasang dengan baik, diperhatikan
apa yang dilihat, demikian juga dengan telinga. Jangan mata terbuka tapi tidak
melihat, tidak sadar apa yang dilihat. Mata dan telinga harus digunakan dengan
sebaik-baiknya. Ini khusus berlaku untuk kaum remaja dimasa sekarang. Acara TV
yang dilihat mata atau didengar telinga banyak mengandung unsur negatif.
Demikian juga dengan yang dibaca dalam surat kabar, lebih banyak berita
buruknya. Maka kaum remaja harus pandai menyaring mana yang patut diperhatikan
dan mana yang diabaikan saja. Pada
tingkat nafsu lauwama, jiwa mestinya sudah
cukup matang untuk ini. Kaum remaja
umumnya diliputi dorongan cita-cita untuk merombak dunia supaya menjadi dunia
yang ideal. Dorongan ini dalam bahasa Jerman disebut Sturm und Drang. Inilah yang perlu
dipupuk.
3. Asa bona ni adat na patoluhon i
ma: Muda sikkam tukkona, laing sikkam do
tunasna.
Asa on ma na martulimbahon tu daganak na dung
mandoli manggaira, na dung sappe rudang mamujing, na dung dipatua adat matua
bulung. Asa ia muda ama-ina sanga oppuna marroha dohot marparange na denggan asa
markasayahon mata dohot ate-ate na manimbangi mamboto rugi-labo aha na jat dohot
na denggan, asa madung totop di parroha dohot dipara-ngehonsa roha dohot parange
na denggan.
Asa nada be jungada manyoppo marroha sanga
marparange na jat. Asa on ma na margoar jolma manisia na lambok marlidung, na
bisuk, na baun, na hobol, na tunggang, na pattun, na ulibasa, na adil, na burju,
na jujur, na satia, na tanang, na ruhut sipartahi, na ulubalang, sipar-monang
mangalo musu, sipartalu mangalo dongan.
Asa on ma na masuk tu tirkat na patoluhon na
nidok napsu mutmaina na sasolkot-sasol-kotna tu Allahewata Sombaon.
Asa parroha parangena songon on ma na manurun sian ama-ina sanga oppuna tu
popparanna anso margoar muda sikkam tukkona, laing sikkam do tunas-na. Asa on ma
na nihagioti ni Allahewata Sombaon asa dihaholongisa, dilehensa tumbas na sonang
di sarugo.
(T) Pangkal adat yang
ketiga adalah: Bila sikkam seteknya, sikkam juga tunasnya.
Penjelasan: Sikkam adalah sejenis tanaman. Bila
kita menanam singkong, yang diambil adalah batangnya. Potongan batang ini dalam
bahasa Belanda disebut stek, dalam
bahasa Indonesia menjadi setek.
Maka inilah
pengeterapannya kepada anak yang telah remaja, yang sudah akil-balig, yang sudah
berumah tangga. Bila orangtua dan neneknya berhati dan berperangai baik dan
menggunakan mata dan perasaan untuk menimbang, mengetahui rugi-laba, yang buruk
dan yang baik, dia pun sudah kokoh dalam hatinya untuk berperasaan dan
berperangai yang baik. Sehingga anak tidak lagi berhati dan berperangai yang
buruk, maka inilah yang disebut, orang yang bicara dengan lembut, yang cerdas,
yang berjiwa besar, yang berwibawa, yang peka rasa, yang sopan, yang luhur
bahasanya, yang adil, yang ikhlas, yang jujur, yang setia, yang teguh memegang
janji, yang pahlawan pemberani, yang menang melawan musuh tapi mengalah melawan
kawan, yang penuh kasih sayang dan iba hati. Inilah yang termasuk tingkat ketiga
yang disebut nafsu mutmainah, yang
paling dekat kepada Tuhan YME. Sifat hati dan perangai inilah yang akan menurun
dari orangtua atau nenek kepada keturunannya yang disebut: “Bila sikkam seteknya, sikkam juga
tunasnya”. Inilah yang dikehendaki oleh Tuhan, karena kasih-sayang dan
kemurahanNya, Tuhan memberi imbalan yang menyenangkan di
syurga.
(M) Sifat orangtua umumnya
akan menurun kepada anak.
(A) Sifat buruk orangtua
mudah ditiru oleh anak, tapi sifat baiknya mungkin tidak semudah itu. Ini adalah
sifat alamiah. Maka orangtua harus hati-hati agar jangan terlampau sering
memperlihatkan sifat buruknya di hadapan anak. Dalam kehidupan manusia berlaku
hukum alam, apa yang ada dalam hati kita atau apa yang kita lakukan, adalah
seperti tukko, seperti setek, ia
mempunyai daya hidup dan keluar tunasnya. Bila hati kita baik, tunasnya atau
buahnya juga baik, bila hati kita buruk, buahnya juga buruk. Bila kita
berpikiran baik, pikiran baik itu akan tumbuh menghasilkan pikiran yang baik
pula. Sebaliknya pikiran yang buruk, akan menghasilkan pikiran yang lebih buruk
lagi. Bila kita berbuat baik pada orang lain, orang itu juga berhati baik pada
kita, maka ajaran moralnya adalah: “Lebih baik berperasaan, berpikiran, berbuat
dan berperilaku yang baik, karena perasaan, pikiran, perbuatan dan perilaku baik
akan menghasilkan buah dan buahnya adalah kebaikan jua”. Inilah ajaran
moral nenek-moyang kita Nagalottung Raja Batak yang harus kita laksanakan dan
tidak boleh kita lupakan.
4. Asa bona ni adat na paopatna i
ma: Pattun hangoluan, teas hamatean.
Asa on ma na
martulimbahon tu pardomuan ni jolma manisia. Pattun marana marina, pat-tun tu
raja dohot guru, pattun ma tu sude jolma manisia anso ro holong ni rohana anso
dapot denggan ni hangoluan. Asa muda
teas tu ama-ina dohot tu raja asa guru bo pe tu dongan jol-ma manisia, ro ma i
jaya tu hamatean. Asa dipatama na tu dongan anso dipatama dongan na tu iba, i ma
marsipatama-tamaan. Asa ulang dibaen haccit ni roha ni jolma manisa anso ulang
tubu roha na jat balosna.
(T) Maka pangkal adat
yang keempat adalah : Sopan adalah kehidupan, aib
kematian.
Penjelasan: dalam bahasa Batak, teasadalah lawannya sopan, tetapi dalam
bahasa Indonesia tidak ada padanannya (kecuali kurang ajar, tapi ini terlalu
keras). Maka diterjemahkan dengan aib, dalam arti tercela.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia. Sopan
kepada orangtua, sopan kepada raja dan guru, sopan kepada semua orang supaya
timbul rasa kasih sayang dan diperoleh kebaikan dalam kehidupan. Bila tidak
sopan kepada orangtua, raja dan guru atau kepada orang banyak, datanglah
kemalangan (kerugian). Diusahakan melakukan kebaikan supaya orang pun
mengusahakan kebaikan kepada kita,
saling berusaha. Jangan membuat sakit hati kepada orang lain supaya tidak
dibalas dengan kejahatan hati.
(M) Kesopanan adalah
sifat orang yang beradab, orang yang berjiwa besar. Tidak ada orang yang ingin
disebut biadab. Maka usahakanlah berbuat sopan.
(A) Orang yang tidak
mengindahkan kesopanan, dalam bahasa Indonesia disebut tidak tahu adat. Ini
berarti bahwa kesopanan sudah dianggap menjadi adat. Kesopanan bukan saja
terdapat dalam tutur kata, perbuatan dan perilaku, tapi juga dalam berpakaian.
Bila kita mau jujur, kesopanan yang diajarkan oleh Nagalottung harus kita
perluas cakupannya supaya juga berlaku untuk perasaan dan pikiran yang lahir
dalam benak kita. Perasaan dan pikiran kita juga harus sopan. Apa artinya ini?
Silahkan direnungkan.
5. Asa bona ni adat na palimahon i
ma: Na marruhut pakkuling, marpopat pangalaho,
todas parjuguk, ulang jomak jomak
so marburi.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia akkon jolo nirohaan do na dokkonan. Asa ulang
palua angin di lambung ni halak asa ulang mandahahi sanga marsiuncong doppak
mangan dohot minum. Asa todas parjuguk dohot parjonjong dohot pardalan. Asa
mangan jolo marburi asa minum ulang manguga asa modom di inganan na ias dohot
lapang, ulang so-ngon hewan sipodomi hodaranna.
(T) Inilah pangkal adat yang kelima: Harus jelas bicara, santun perilaku, sopan
duduknya, jangan menjamah makanan sebelum
cuci tangan.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia, harus dipikirkan dulu apa yang akan diucapkan.
Jangan buang angin didepan orang lain dan jangan mendahak atau mengeluarkan
ingus waktu makan atau minum. Harus sopan bila duduk, berdiri dan berjalan. Bila
mau makan, cuci tangan dulu, jangan langsung menjamah makanan. Bila tidur harus
di tempat bersih dan lapang, jangan seperti hewan, tidur di kotorannya sendiri.
(M) Bila hendak bicara,
harus dipikirkan dulu supaya yang dikatakan jelas maksudnya. Jangan bicara yang
tak jelas ujung-pangkalnya. Tingkah laku harus yang sopan. Duduk juga harus yang
baik, jangan angkat kaki ke meja seperti orang Amerika. Jaga kebersihan waktu
hendak makan dengan mencuci tangan dulu.
(A) Kalau bicara, jangan
seperti orang marah, yang langsung marah tanpa kejelasan (Jadi bila mau marah,
harus ada introduksi dulu, umumnya waktu memikirkan seperti apa introduksi itu,
marahnya sudah hilang). Orang yang disapa harus menyahut. Kata yang tidak
disambut, menimbulkan rasa tak enak hati.
6. Asa bona ni adat na paonomkom i
ma: Tappakna do rattosna, rim ni tahi do
gogona. Gulang-gulang siala sappagul rap tu ginjang rap tu
toru.
Asa on ma na martulimbahon tu jolma manisia
anso rap sahagogoan sahagabean, marsiurup-urupan mangarejohon sanga aha harejo,
hangoluan dohot hajuljulon dohot hasangapan habadiaon. Asa rap sarugi salabo,
rap sahasangapon, rap sahabadiaon, rap martua rap markaraton. Nada tola
marsitading-tadingan.
(T) Inilah pangkal adat yang keenam: Tampahnya jua pinggirnya, bulatnya kata
sepakat kekuatannya.
Berguling-guling
setandan biji siala, sama-sama ke atas dan ke bawah.
Penjelasan:
tampah adalah alat dapur yang dianyam. Tampah terjalin kuat dalam
anyamannya sampai ke pinggir. Siala
adalah honje dalam bahasa Sunda, tapi
bijinya yang masih utuh setandan. Kalau tandannya berguling, semua biji turut
berguling, karena biji siala itu sangat kuat terikat dalam
tandan.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia, supaya sama-sama kuat dalam kekuatan, sama-sama
terhormat dalam kedudukan, saling menolong bila ada pekerjaan atau dalam
kehidupan, dan sama-sama rugi dalam kerugian, sama-sama untung dalam
keberuntungan, sama-sama mulia dalam kemuliaan, sama -sama susah dalam
kesusahan. Jangan terpisah-pisah.
(M) Masyarakat harus
dilihat sebagai sekumpulan orang yang kuat terjalin dalam satu kesatuan ibarat
tampah yang dianyam atau ibarat sialasetandan yang kuat terikat dalam
tandan.
(A) Ajaran ini khusus
berlaku untuk orang kita yang terkenal sebagai orang yang kuat kesadaran
dirinya, yang kuat rasa individualistisnya, yang kuat egonya, yang sulit
disatukan. Daripada bertindak sendiri-sendiri, Nagalottung menghimbau orang kita agar meninggalkan sikap
egoistis ini, diganti dengan sikap demokratis, yaitu hidup bermasyarakat dengan
mengindahkan kepentingan orang lain. Ajaran ini juga menunjuk pada keinginan Si
Raja Batak, agar manusia hidup berorganisasi. Jauh sebelum manusia sadar akan
pentingnya organisasi, Raja Batak sudah mengajarkannya. Dewasa ini segalanya
dilakukan dalam bentuk organisasi, karena hanya dalam bentuk organisasi tercapai
hasil yang optimal.
7. On ma bona ni adat na
papituhon: Satuptup satahi, saluppat saindege,
sapangambe sapanaili, sabile samalu.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia anso rap saroha sahata, satahi rap jujur rap satia, sapangondok, sapandorgak, sahamatean
sahangoluan, sahagabean sahamoraon, saharugian saparlabaan.
(T) Inilah pangkal adat yang ketujuh: Sehati sekata, selompat seinjak, seayun
sepemandangan, sehina
semalu.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia, supaya sehati sekata, sepakat sama-sama jujur
sama-sama setia, sehidup semati, sama-sama mulia sama-sama terhormat, sama-sama
rugi, sama-sama untung.
(M) Maksud adat ini sama
dengan adat nomor 6, menonjolkan prinsip
demokrasi dan prinsip organisasi, yaitu kesamaan dalam segala hal, kesamaan
dalam hati supaya sama dalam kata, kesatuan langkah dalam bertindak supaya
dicapai hasil yang baik. Kesatuan dalam pemahaman supaya tercapai kesatuan arah
dan tujuan. Tapi juga kesatuan dalam suka dan duka.
(A) Adat inilah yang menjadi dasar terbentuknya
kekerabatan yang dalam bahasa Batak disebut dalihan na tolu, tungku berkaki
tiga. Ada hubungan vertikal, dari mana kita mengambil isteri yang disebut mora, ada hubungan horizontal yaitu
kakak beradik disebut kahanggi, dan
ada hubungan ke bawah kepada siapa kita memberi anak gadis kita dan disebut anak boru. Hubungan ini disebut solkot yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa
Indonesia. Solkot artinya, hubungan
kekerabatan yang dekat, erat dan kental dengan kasih sayang. Dalam kekerabatan
solkot inilah berlaku sehati sekata,
selangkah seinjak, seayun sepemandangan, sehina semalu, sehidup semati. Kesolkotan dalam dalihan na tolu memang sudah menjadi
darah daging orang kita. Kesolkotan
ini tampak dari peribahasa: “Tinitip
sanggar baen huru-huruan”,
dipotong sanggar untuk
membuat sangkar (sanggar = semacam
gelagah). “Sinungkun marga so binoto
partuturan”, ditanya marga supaya tahu cara bertutur.
8. On ma bona ni adat na pawaluhon i
ma: Takki do walang sipartahina, ulubalang
monang mangalo musu, talu mangalo dongan.
Asa on ma na
martulimbahon tu sibat ni raja dohot jolma manisia. Na gabe raja parsilaungan
parkolip-kolipan ni rayap akkon sipartahi. Asa ulubalang do na gabe raja
manjongjokkon adat dohot uhum dohot
harajaon di bagasan hajujuran na satia. Asa anggo mangalo musu, akkon monang,
pattang mangela surut harani heput, tai anggo mangela surut marroha mangalo
hajat-tanon sinagana ma i asa mangalo
dongan na talu do ulang adong sipamedu.(?)
(T) Inilah pangkal adat yang
kedelapan: Takki mengikat kesepakatan, ulubalang
menang melawan musuh, kalah melawan
kawan.
Penjelasan: takki adalah kulit kayu yang halus putih
tapi kuat. Sebelum dikenal kain tenun,
takki dipakai sebagai
penutup aurat. Untuk itu kulit kayu ditumbuk sampai tipis.
Maka inilah
pengeterapannya kepada sifat raja dan manusia. Yang menjadi raja tempat rakyat berlindung harus suka melakukan
musyawarah. Ulubalang yang menjadi raja harus dapat menegakkan adat, hukum dan
kerajaan dengan jujur dan setia. Bila melawan musuh, harus menang, pantang
mundur karena kecut atau takut tetapi bila berhadapan dengan kawan, harus mampu
untuk mengalah.
(M) Kata sepakat yang
dicapai dalam perundingan, harus dipegang teguh dan berjanji untuk dilaksanakan
dengan sepenuh hati dan rasa tanggung-jawab.
(A) Kata sepakat yang
dicapai dalam musyawarah harus ditepati, sebagai tanda orang yang berjiwa luhur
dan bertanggung jawab. Ajaran ini pun terdapat dalam Al-Qur’an sebagai tanda
orang yang beriman. Seorang ulubalang harus menang melawan musuh tetapi mengalah
menghadapi kawan, mengandung arti sifat seorang pahlawan yang sesungguhnya,
bersifat ksatria. Pada masa kini, sangat langka ditemukan seorang pemimpin yang
berjiwa ksatria, tegas kepada lawan, sebaliknya lembut mengayomi kepada rakyat.
Ini menunjukkan, pada abad XIV - Nagalottung Raja Batak sudah memiliki kesadaran
moral yang tinggi.
9. Bona ni adat na pasiahon i
ma: Tukkap-tukkap tu jolo, torjak tu pudi,
juljul tu ginjang. Gonan gasa pado maribuk.
Asa on ma na martulimbahon tu
jolma manisia: Pattang ni anak raja, anak na mora asa boru na mora, babere na
mora mundur surut tu pudi, akkon na juljul tu ginjang manjuljulkon adat dohot
uhum dohot harajaon dohot hagabeon dohot hamoraon anso maginjang magodang
marsangap martua markaraton matcot sangakkip na riakkon manyargut di parmusuan.
Tai anggo baen tu hasalamatan, gonan do na mundur mangela surut marroha
hajattanon pado mate di habilean.
(T) Pangkal adat yang
kesembilan adalah: Bungkuk-bungkuk ke muka, menerjang ke
belakang, menopang ke atas. Lebih baik luka daripada patah
tulang.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Pantang bagi anak raja, perempuan bangsawan dan
menantu bangsawan untuk mundur ke belakang, harus bisa menopang adat, hukum dan
kerajaan serta kebesaran dan kemuliaan supaya semakin besar keberuntungan dan
kehormatan. Tapi demi keselamatan, lebih baik mundur dengan jantan daripada mati
dalam kehinaan. (Penjelasan: dalam konteks ini, tampaknya mundur
harus diartikan kurang menopang adat dan hukum).
(M) Dalam menghadapi
kebaikan, kita membungkuk merendahkan hati, menjauhkan keangkuhan supaya
kebaikan dapat berkembang pesat. Tetapi bila menghadapi keburukan, kita harus
mempunyai hati yang keras untuk melawannya.
(A) Kebaikan harus
ditopang, dijunjung supaya dapat ditegakkan. Kebaikan tidak dapat diajarkan
dengan kekerasan, harus dengan kelembutan. Sebaliknya, kejahatan tidak dapat
dilawan dengan kelunakan, harus dengan kekerasan. Dalam hal ini, anak raja dan
kaum bangsawan harus dapat memberi contoh, memberi dorongan dan bantuan. Namun demikian, jangan kelewat batas, lebih
baik luka daripada patah tulang.
10. Asa bona ni adat na pasapuluhon i ma: Tola
do marbada, tai ulang dioban margotos. Sagodang-godang ni parbadaan, ulang
magotap panggattung parapian.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Nada tola markosom na so sude di parba-daan. Asa
sagodang-godang ni parbadaan, ulang jabat dibuat hosa dohot dibaen gasa ni
badan.
(T) Pangkal adat yang kesepuluh ialah: Boleh
bertengkar tapi jangan sampai bertinju. Sebesar-besar pertengkaran, jangan putus
gantungan perapian.
Penjelasan:
umumnya di atas api digantungkan anyaman bambu untuk mengeringkan daun
kopi sebagai pengganti teh.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Tidak boleh merasa dendam karena pertengkaran.
Sebesar besarnya perselisihan, jangan sampai nyawa melayang atau terdapat luka
di badan.
(M) Berselisih paham dan
bertengkar adalah lumrah, tapi jangan
sampai putus tali persaudaraan dan jangan sampai terjadi perkelahian.
Jangan sampai ada yang terluka atau sampai putus nyawa.
(A) Bila sampai terjadi
perkelahian atau sampai ada yang terluka, sudah sulit mendamaikannya. Orang kita
yang dijumpai Nagalottung memang masih suka bertengkar, mungkin ada yang sampai
terluka atau putus nyawanya. Ajaran ini untuk jaman sekarang masih tetap
berlaku, bukan saja untuk orangTapanuli, juga untuk bangsa Indonesia dan
seantero dunia. Dewasa ini, anak SMP/SMA melakukan tawuran dengan membawa clurit
sehingga ada yang meninggal. Di Amerika, anak SD saja sudah membawa pistol ke
sekolah. Pangkal adat ini mengajarkan kepada kita, untuk pandai mengendalikan
diri dari emosi, nafsu amarah dan angkara murka sebagai ciri manusia yang
berbudi luhur.
11. Asa bona ni adat na pasapulu sadahon i
ma: Rukrek parau manjalahi tu rapotna, dibaen pe
martakkangi, manjalahi hasittonganna di bagasan
hapattunon.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Di bagasan sanga aha na nipartakkakkon, nada
tola maroban tu segana, tai akkon maroban tu dalan manjalahi hasittonganna
do.
(T) Pangkal adat yang kesebelas
adalah: Hilir mudik perahu mencari tempat berlabuh, walau bertengkar, tujuannya
adalah mencari kebenaran dengan cara yang patut.
Maka inilah pengeterapannya
kepada manusia: Apa pun yang dipertengkarkan, jangan sampai membawa kerusakan
tetapi harus dicari jalan supaya membawa
kebenaran.
(M) Manusia memang harus
seperti perahu mencari tempat berlabuh, manusia harus memiliki pikiran yang
panjang, dipikir berulang kali untuk menemukan kebenaran dan setiap pihak
mempunyai kesimpulan masing-masing yang
berbeda sehingga mudah menjadi awal pertengkaran.
(A) Wajar bila dalam hal
mencari kebenaran, terjadi perbedaan paham dan pertengkaran, tapi harus dijaga
agar tidak sampai emosi, jangan sampai naik darah seperti yang sering terjadi
pada orang kita. Nagalottung mengetahui sifat orang kita yang keras hatinya,
tegas dalam pendirian dan tegar mempertahankannya. Tapi ini harus ditinggalkan
supaya memiliki kepala dingin. Inilah tandanya berjiwa besar dan mempunyai visi
luas.
12. Bona ni adat na pasapulu duahon i ma: Pahulu
simanggurak, pahae sitipulon. Muda sala di pandasoran, sala ma i di
pambibiran.
Asa on ma na martulimbahon tu jolma manisia:
Akkon masibalos-balosan do di hadengganan asa nada tola baribaan songon na
mangan dongdong. Asa muda sala di mukkana, sala ma I di ujungna muda so dipauli.
I ma anso tae-tae, ulang porotan manat-manat ulang tarsuga asa sanga aha harejo.
Jolo nirohaan takkas-takkas sanga bia pambaenanna.
(T) Pangkal adat yang
keduabelas adalah: Ke hulu
melawan arus, ke muara mematahkan.
Kalau salah di dasarnya, akan salah juga di
pinggirnya.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Harus balas membalas dalam kebaikan, jangan
sebelah seperti makan kedongdong. Bila salah di awalnya, akan salah juga di
ujungnya bila tidak dibetulkan. Karena itu harus hati-hati, jangan sampai
seperti tertelan duri tersangkut di kerongkongan. Pikirkan dulu masak-masak
bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan.
(M) Manusia tidak selalu
memperoleh kebaikan atau keuntungan. Sebaliknya, tidak selalu memperoleh keburukan atau kerugian/sial. Baik
dan buruk senantiasa berdampingan,sperti mata uang. Setiap melakukan pekerjaan
harus dipikirkan sebelum dimulai supaya tidak terjadi kegagalan dan
kerugian.
(A) Bila hendak melakukan
sesuatu, harus dimulai dengan planningatau rencana kerja, ini ajaran
dalam manajemen modern. Jadi Nagalottung sudah mengetahui prinsip manajemen.
Untuk melakukan kebaikan, kita harus melawan nafsu. Umumnya keburukan terjadi
secara otomatis, seperti air mengalir ke muara karena nafsulah yang masih
menguasai kita. Karena itu nafsu harus dilawan seperti melawan arus. Untuk
mencapai keberhasilan, segalanya harus direncanakan dan dipikirkan lebih dahulu.
Kebaikan yang orang berikan pada kita, harus kita balas dengan kebaikan pula,
jangan dianggap sebagai sesuatu yang datang dengan sendirinya/gratis.
Keberuntungan harus kita syukuri supaya tetap datang menghampiri. Sebaliknya,
keburukan datang sendiri tanpa diundang, tetapi keburukan ini jangan kita
balas.
13. Asa bona ni adat na pasapulu toluhon i
ma: Teas ni bulung si niutusan, teas ni hata so
nialusan. Teas ni adat so nibulungan, teas ni raja so
nitalagaan.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Nada tola teas tu saguman na niadokkon ni
Allahewata Sombaon. Asa tandana na paradat na paruhum dohot bulung pisang pe
niutusan hodongna. Asa ulang teas mangalusi sapa-sapa harana sapa-sapa na so
nialusan maroban tu haccit ni roha. Na maol nada tarbaen jop ni roha ni halak,
pinomat ma ulang dibaen haccit ni roha ni halak. Asa tongtong ditutup lobong di
bulungan adat siriaon dohot adat siluluton ulang didok halak na so mamboto adat. Akkon
dipattunan do raja dohot na mora-mora anso sonang tading di bagasan huta bona
bulu.
(T) Pangkal adat yang ketiga belas
adalah: Aib pelepah daun pisang yang tidak dibelah,
aib kata yang tidak disambut. Aib adat yang tidak diindahkan, aib raja yang
tidak ditalagakan (duduk di sebelah Barat)
Penjelasan: hodong adalah pelepah daun pisang.
Pelepah dibelah bila daun pisang itu akan digunakan untuk menutup pangupa.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Harus menghormati segala yang Tuhan ciptakan.
Tandanya kita adalah orang yang beradat dan tahu hukum, daun pisang pun harus
dibelah pelepahnya. Kalau kita disapa, kita harus menyambutnya, karena kata yang
tidak disambut akan menimbulkan sakit hati. Bila sulit membuat orang senang
hatinya, paling sedikit jangan disakiti hatinya. Harus diketahui kapan adat
kegembiraan dilakukan dan kapan adat kesedihan dilakukan, agar kita jangan dituduh tidak tahu adat. Raja
harus dihormati dengan memberinya tempat duduk di julu, sebelah Barat, supaya beliau
merasa senang diam di hutabona bulu.
(M) Manusia harus
menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan. Menghargai dan menghormati alam adalah
tanda manusia beradab. Demikian pula dalam menghadapi sesama, jagalah
perasaannya agar senang dan nyaman, baik kepada yang sederajad maupun yang
memiliki kedudukan lebih tinggi.
(A) Pangkal adat ini
mengajarkan kita, untuk pandai-pandailah membawakan diri kepada lingkungan,
tempat kita berada dimana pun, kearifan lokal jangan ditinggalkan tetapi
sebaliknya dijunjung tinggi sebagai ekspresi menghargai dan menghormati adat dan
kebiasaan setempat. Ini membuat kita nyaman dan orang lain pun senang. Pada
zaman modern saat ini, kearifan lokal jarang diperhatikan, manusia sudah merasa
yang paling pintar sehingga timbul sifat sombong dan takabur. Akibatnya manusia
tidak bisa berharmonisasi dengan lingkungan, baik dengan sesama maupun alam,
sehingga sering terjadi musibah dan bencana.
14. Asa bona ni adat na pasapulu opatkon i
ma: Jayatonan dilakkai abara ulu jaru pe di
toru kihik pamorsanan. Ulang mopop ulang tartuktuk, na horhosa do puna
teanan.
Asa on ma ia le na martulimbahon tu jolma
manisia: Jayatonan do na ro muda dirappas anak raja harajaon dohot hasangapon ni
amana bo pe muda dirappas sianggian harajaon dohot hasangapan ni akkana. Asa ulang jabat mopop mangarappas jaru pe
dirappas, laing na horhosa do i teanan asa songon i muse tu arta teanan. Ulang
dihalupahon ia sangap ni ama i ma sangap ni akka i ma sangap ni anggi. Songon i
do pambaen ni Allahewata Sombaon. Asa muda bile ama nada arga hasangapon ni anak
asa muda bile siakkaan, nada arga hasangapon ni sianggian asa ida do Allahewata
Sombaon di na buni dohot di roha ni parhaduk.
(T) Inilah pangkal
adat yang keempat belas yaitu: Yayatonan (sulit diterjemahkan) dilangkahi bahu dan kepala walau di
bawah ketiak pemikul. Jangan terburu-buru supaya jangan terantuk jari kaki, yang
horhosa (sulit diterjemahkan) punya
warisan.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Jayatonan (musibah?) datang bila anak raja merampas kerajaan
dan kehormatan ayahnya atau bila adik merampas kerajaan dan kehormatan abangnya.
Jangan sampai terburu-buru merampas, walaupun merampas yang horhosa, yang mewarisi, dan demikian
juga dengan harta warisan. Jangan
dilupakan, kehormatan ayah itulah kehormatan anak, kehormatan abangnya itulah
kehormatan adiknya. Demikianlah ketentuan Tuhan YME. Bila ayah jadi hina, tidak
berharga kehormatan anak dan bila abang hina, tidak ada harga kehormatan adik.
Tuhan YME melihat apa yang tersembunyi dalam hati manusia.
(M) Ajaran ini khusus
berlaku untuk yang berkuasa. Yang kuat dan berkuasa, mempunyai kedudukan, baik
dalam adat maupun posisi supaya jangan mengambil hak yang lemah. Bila ini
dilanggar, maka akan terjadi musibah dan aib keluarga (kerajaan), apalagi bila
yang direbut adalah warisan kedudukan dan harta.
(A) Pada zaman modern
saat ini, sudah sangat umum terjadi perebutan warisan dalam keluarga. Seperti
yang sudah dikatakan di atas, ini adalah musibah dan akan menjadi aib keluarga.
Sesungguhnya sebuah keluarga harus saling menyayangi, melindungi kepada yang
lemah. Hanya karena harta, nilai luhur ini menjadi hilang, tertutup oleh nafsu
angkara murka kebendaan, nafsu kebendaan ini adalah nafsu rendah. Sebagai
manusia yang beradab, sepantasnya tidak terjerat dalam nafsu rendah semacam ini,
yang membawa manusia kepada derajad syaitoni yang hina.
15. Asa
bona ni adat na pasapulu limahon i ma: Batuk laho tu bagas, ehem laho tu sopo,
barsi lahotu hauma, marbou laho tu tapian.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Jolo nirohaan sanga aha na giot baenon, ulang ro
panyosalan tu pudi. Asa batuk muda laho tu bagas anso marsipauli parabitna sude
isi ni bagas mamattuni tamu na ro asa barsi muda laho tu hauma, i ma tanda halak
na lidang rohana, nada na giot manakko asa marbou laho tu tapian, ulang mulak
mata manaili mangida halak dompak mangusa asa appot adong halak na mangusa, anso
marsipauli parabitna maridi.
(T) Inilah pangkal
adat yang kelima belas, yaitu: Batuk bila memasuki rumah, ehem bila
memasuki sopo, bersin bila memasuki
ladang, berseru bila memasuki permandian.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Harus dipikirkan lebih dulu apa yang hendak
dikerjakan supaya tidak ada penyesalan di belakang hari. Harus batuk bila hendak
memasuki rumah supaya orang di dalam dapat memperbaiki kainnya untuk menghormati
tamu, bersin bila hendak memasuki kebun sebagai tanda tidak bermaksud buruk,
berseru bila hendak memasuki permandian supaya mata tidak balik melihat orang
yang sedang mandi dan supaya orang yang sedang mandi dapat menutup dirinya. Bila
hendak memasuki sopo sebaiknya
memberi tanda agar yang tidur tidak merasa risi, sopo adalah tempat tidur
pria.
(M) Maksud umumnya adalah
agar kita menghormati privacy orang
lain seperti orang Barat menelepon terlebih dahulu bila hendak
berkunjung/bertamu. Di Jawa Barat, bila kita hendak masuk rumah orang lain, kita
mengucap punten atau umumnya kita
mengucapkan Assalamu’alaikum.
(A) Yang menonjol dari
adat ini adalah bagas ni parrohaan ni
Opputta Nagalottung - dalamnya kesadaran nenek kita Nagalottung akan
nilai-nilai kebaikan (bersopan-santun). Pada zaman sekarang, sopan santun
semacam ini masih dipakai dan dijunjung tinggi apalagi pada kunjungan
formal.
16. Asa bona ni adat na pasapulu onomkon i ma:
Marga hapadasan, tutur mamikkolang, haskas bondul makkalang. Bada di bagas,
ulang dioban tu alaman.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Akkon marruhut do sude pangalaho torsingot tu na
matua bulung na dipatobang adat. Asa nada tola marsibuatan boru na samarga dohot
na sa pareban dohot na marbabere.Asa nada tola marsibuatan boru jaru pe di marga
marhapa-dasan tai di tutur mamikkolang. Sanga ise na mangalanggar adat on nidabu
uhuman tu ibana marutang marsomba tu harapatan adat manyombahon horbo mate
mangolu. Jujunganna halak bujing halak hundangan halak parappuan. Asa nada tola
palalu muruk ni roha di adopan ni halak na nipattunan i ma so didok haskas
bondul makkalang. Asa bada di bagasan bagas nada tola botoon ni halak na so
patut mambotosa ulang maol paulion ni kahanggi dohot
anakboru.
(T) Pangkal adat yang keenam belas adalah:
Marga berkecocokan, tutur bertentangan, langkah terhalang bendul. Pertengkaran
di rumah, jangan dibawa ke halaman.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Yang sudah berumah tangga harus menjaga tingkah
laku. Marga menentukan dengan siapa kita boleh menikah dan dengan siapa tidak
dibolehkan. Tidak boleh menikah dengan yang semarga. Siapa melanggar adat akan
dijatuhi hukuman dengan seekor kerbau yang dipersembahkan dalam rapat adat. Jangan melepaskan amarah di
hadapan orang yang kita hormati, itu sebabnya dikatakan langkah terhalang bendul.Dan
pertengkaran di rumah jangan sampai diketahui oleh orang lain supaya tidak sulit
didamaikan oleh kahanggi atau anakboru.
(M) Marga menentukan
hubungan kekerabatan dalam sistem “dalihan na tolu” yaitu mora, kahanggi dan anakboru. Kita boleh menikah dengan
marga lain, tapi dijaga jangan mengganggu pertuturan.
(A) Hubungan kekeluargaan
dalam sistem “dalihan na tolu” adalah
suatu aset yang perlu dilestarikan. Tungku yang berkaki tiga, adalah yang paling
stabil. Kalau berkaki dua tidak dapat berdiri, kalau berkaki empat atau lima,
kaki yang keempat sedikt saja lebih pendek atau lebih panjang, membuat tungku
tidak stabil. Pertengkaran dalam keluarga bila tidak dapat diselesaikan sendiri,
harus diselesaikan oleh pihak ketiga dalam adat Tapanuli oleh kahanggi atau anakboru. Maka jangan membuat
pertengkaran yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Yang terbaik adalah jangan
sampai bertengkar.
17. Asa on ma bona ni adat na pasapulu pituhon i
ma: Na sega nipauli, na tartar dijopput, na deret diulahan, na mago
dijalahan.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma: Nada tola dibaen jogal-jogal ni roha, jogal ni ate -
ate. Asa halak na marsalisi, patureon ni kahanggina, dameon ni anakboruna dohot
morana. Hasidunganna, patureon ni harapatan adat, ulang putung dohot siuk
dipagodang-godang.
(T) Inilah pangkal
adat yang ketujuh belas: Yang rusak dibetulkan, yang tercecer dijemput, yang
terlupa diulang, yang hilang dicari.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Tidak boleh berhati egoistis (inilah terjemahan
yang paling dekat untuk kata hatinya
jogal. Jogal dapat disebut keras
dalam arti tidak mau mengalah). Orang yang berselisih, harus didamaikan oleh kahanggi, anakboru atau mora-nya. Yang terakhir, harus
diselesaikan dalam rapat adat. Maka amarah dan dengki jangan
dibesar-besarkan.
(M) Dalam hubungan dan
pergaulan manusia, yang rusak dalam hubungan harus diperbaiki, yang terlupa
harus dibetulkan, yang tertinggal diambil dan yang hilang
dicari.
(A) Yang rusak, tercecer,
terlupa atau tertinggal, dapat diartikan secara harfiah, terlebih pada hubungan
kekeluargaan. Disini diajarkan, bahwa silaturahmi dengan sesama manusia jangan
sampai putus apalagi silaturahmi dengan saudara sendiri. Bila ada sakit hati
hendaknya jangan dipelihara, buanglah sakit hati supaya silaturahmi tetap
terjalin. Sakit hati yang disimpan akan menjadi penyakit batin yang
parah.
18. Asa bona ni adat
na pasapulu waluhon i ma: Surat ni adat sise ni adat siluluton,
hombar lilit tu uhum sarak na nibaen ni Allahewata Sombaon.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manusia: Ia so didok disise di alat siluluton akke di
adat siluluton ma tarida pardomuan ni jolma, pardomuan di suhut dohot morana
dohot kahang-gina dohot anakboruna. Pardomuan ni raja dohot rayap, pardomuan ni
suhut dohot mata ni ari so gakgahon dohot sibuat babere asa pardomuan ni huta
bona bulu dohot panusunanna
(T) Pangkal yang kedelapan belas
adalah: Suratan adat terbaca dalam adat siluluton (siluluton = kesedihan) yang erat terjalin pada hukum syariat
yang diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Penjelasan: dalam adat
ini, Nagalottung sudah bicara soal syariat yang terdapat dalam agama Islam. Ini
menunjang keterangan dalam naskah Ronggur Laut bahwa Nagalottung Raja Batak
sudah beragama Islam.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Dikatakan “terbaca dalam adat siluluton” karena dalam adat inilah
tampak eratnya hubungan kekeluargaan antara mora, kahanggi dan anakboru, eratnya hubungan antara raja
dan rakyat, antara huta bona bulu dan
panusunannya.
(M) Eratnya hubungan
kekeluargaan dalam hukum adat yang disusun oleh Nagalottung Raja Batak terkait
kepada syariat dalam ajaran agama Islam.
(A) Bila terjadi musibah
yang membawa kesedihan, seluruh kerabat mulai dari mora, kahanggi dan anakboru berkumpul untuk mengadakan
upacara adat sebagai pernyataan kesedihan. Kerbau disembelih dan masing-masing
mendapat bagian yang ditentukan oleh adat. Zaman sekarang, bila ada musibah
kesedihan acapkali dilakukan pengajian atau do’a bersama keluarga dan handai
taulan , seperti kebiasaan (adat) tahlilan pada saat ada yang meninggal pada 1-
7 hari, 40 hari, 100 hari dst.
19. Asa bona ni adat
na pasapulu siahon i ma: Jumolo do siluluton ulang siriaon. Nada
tarbaen marsiluluton anggo suada jumolo marsiriaon. Anak pandoruan raja
pakkolosan.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma: Adat ni raja-raja dohot namora-mora nada tola marhorja
siriaon anggo adong hatinggalan lobong ni adat siluluton i ma adat ni na mate
akkon nibulungan, pinomat ma dilamlamkon, i ma sada horbo di juluan asa sada
lombu di talaga. Anggo hum sada horbo, disitsal digora adat raja-raja do pe i.
(T) Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Menurut adat raja-raja dan bangsawan, tidak
boleh mengadakan horja kegembiraan abila ada musibah
kesedihan seperti ada yang meninggal. Yang meninggal harus dibulungan atau dilamlamkan, yaitu seekor kerbau di
sebelah Barat dan seekor sapi di sebelah Timur. Penjelasan: ini sudah termasuk
adat raja-raja. Selanjutnya adalah adat raja-raja. Karena yang nomor 18 ini juga menyangkut siluluton, maka mulai adat nomor 18
termasuk adat raja-raja. Adat raja-raja jelas didasarkan atas adat yang sudah
ada di kalangan raja-raja Batak sebelum Nagalaottung datang.
(A) Pangkal adat ini
mengajarkan untuk menghormati dan menghargai musibah kesedihan. Dalam ajaran
Islam, nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk mengunjungi keluarga yang
tertimpa musibah, karena ada yang sakit atau meninggal sebagai tanda ikut
berduka. Malah ini bukan sebagai anjuran semata, tetapi sudah menjadi suatu kewajiban bagi umat
Islam.
20. Asa bona ni adat
na padua puluhon i ma: Adat dohot uhum ni raja, sipangan anak
sipangan boru. Ise na sala, ibana diuhum. Hosa tontangan ni hosa, tangan na
sala, tangan nigotap, pat na sala, pat
nigotap, baba na sala, baba nisappal. Asa sidung do hata-hata adat muda jongjong
balanga sigunung di dalihan na tolu.
Asa on ma na martulimbahon tu jolma: Adat
dohot uhum ni raja, nada baribaan songon na mangan dongong. Ise na sala, ia
nihukum. Ise siparsala, ia mananggung hasalaanna. Asa nada dipaobankon hasalaan
ni halak siparsala hasalaan ni halak na asing.
(T) Pangkal adat yang
kedua puluh adalah: Adat dan hukum raja, pemakan anak laki dan
pemakan anak perempuan. Siapa yang salah, dia dihukum. Nyawa tentang nyawa,
tangan yang salah, tangan dipenggal, kaki yang salah, kaki dipotong, mulut yang
salah, mulut disumpal. Selesailah kata-kata adat bila “belanga sigunung sudah berada di atas tungku
berkaki tiga”.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Menurut adat dan hukum raja-raja, raja tidak
boleh berpihak sebelah seperti makan dongdong. Siapa yang salah, ia menanggung
kesalahannya, walau anak raja. Tidak boleh kesalahannya dibebankan kepada orang
lain.
(A) Pada zaman modern,
pangkal adat ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang pemimpin harus adil
kepada siapa pun, kepada rakyatnya maupun kepada kalangan terdekatnya seperti
sahabat dan kerabat. Seorang pemimpin harus berpihak kepada kebenaran, tidak
kompromi terhadap kolusi apalagi nepotisme.
21. Asa bona ni adat na padua pulu sadahon i
ma: Halihi markuwok, une maluyun tarsakkot di
sige masuk bondul na opat.
Asa on na martulimbahon tu jolma manisia
i ma: Muda raja-raja maruhum, nada tola niuhum anggo suada tuk hatorangan dohot
saksi. Asa nada tola halak niuhum dohot nayang muda adong hatorangan sian hobar
rarat marudut tu tanda-tanda na dapot di jolma na tartudu. Asa marudut tu
tanda-tanda na adong di inganan kajadian tudu-tudu hasalaan. Asa tola ma halak
niuhum dohot dokdok muda adong hasaksian sian opat saksi na hapursayaan dohot
suppa.
(T) Pangkal adat yang kedua puluh satu adalah:
Burung elang berkuwok, une melayang tersangkut di sigedan masuk bendul yang empat.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Bila raja-raja menghukum, tidak boleh dijatuhkan
hukuman abila tidak cukup bukti dan saksi. Tidak boleh dihukum dengan ringan
bila ada bukti yang terdapat pada tempat kejadian atau orang yang tertuduh.
Hukuman berat dapat dijatuhkan bila ada empat orang saksi yang memberikan
kesaksian di atas sumpah.
(A) Tampaknya kesadaran
hukum pada waktu itu (M 1386), khususnya Nagalottumg Si Raja Batak sudah tinggi.
Pangkal adat ini mengajarkan kepada kita, bahwa hukum harus ditegakkan, bahasa
populernya “law inforcement”, bila
terjadi pertikaian di pengadilan, bukti dan saksi menjadi upaya hukum yang harus
ada.
22. Asa on ma bona ni
adata na padua puluhon i ma: Raja
sitiop adat sidabu uhum, tuan laon bolan siudut hosa kahanggi dohot tumahi, mora
sihurtuk tondi dohot tua ni anakboru asa
ankboru pamittori.
Asa on ma na
martulimbahon tu jolma manisia: Raja na markuasa di bagasan huta bona bulu dohot
pagaranna di tano rura banua. Asa halak na taruhum na so unjung marsala asa
so-malna halak na nipattunan do, muda dipangido tuan laon bolon, dipalua sian
uhuman sanga ulang mandalani uhuman dohot mamake
parjanjian.
Muda dibaensa hasalaan tu pudi ni ari
uhumanna i laing ditambahon tu uhuman na parpudi. Asa muda raja martahi dohot
kahanggina do ditahihon. Asa pulu ni tahi dipaboa di hula-hula battara kanan
dohot di bayo-bayo battara kiri. Asa tahi ni halak na markahanggi disombahon tu
mora anso dihurtuk digobakkon tondi ni anaboruna na tumahi. Asa muda marsalisi
halak na markahanggi dipittori anakboruna anso sapanganan
sapanginuman.
(T) Pangkal adat yang
kedua puluh dua adalah: Raja yang memegang adat dan hukum,
permaisuri penyambung nyawa kahanggi dengan musyawarah, mora pelindung jiwa dan
keberuntungan anakboru dan anakboru pendamai.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Raja yang berkuasa di huta bona buludan daerah kekuasaannya.
Orang yang kena hukuman dan belum pernah dihukum dan yang biasanya adalah orang
yang baik-baik, dapat diminta oleh permaisuri untuk dikeluarkan atau dia tidak
menjalani hukuman dengan perjanjian. Bila mengulangi kesalahannya yang sama
dikemudian hari, hukumannya ditambah dengan hukuman sebelumnya. Bila raja
bermusyawarah, ia bermusyawarah dengan kahangginya (untuk urusan keluarga). Keputusan musyawarah,
diberitahukan kepada mora dan anakboru. Musyawarah orang yang berkahanggi, dipersembahkan pada mora supaya mora memberkahi anakborunya. Bila orang yangberkahanggi berselisih, didamaikan oleh
pihak anakboru dengan sama-sama makan
dan minum.
(A) Hukum dapat bersikap
lunak kepada orang yang berhak dan upaya hukum senantiasa dapat berjalan. Pada zaman modern, dikenal istilah
grasi, yaitu pengampunan yang diberikan oleh negara kepada terhukum. Atau
istilah remisi, yaitu pengurangan masa tahanan kepada narapidana yang
berkelakuan baik. Jadi, pada zaman dahulu pengertian hukum untuk grasi dan
remisi sudah ada. Orang yang berkahanggi
berselisih, didamaikan oleh anakboru,
adat ini bisa jadi setara dengan pengadilan arbitrase pada masa
kini.
23. Asa bona ni adat
na padua pulu toluhon i ma: Muda tading di huta bona bulu ni raja,
maridi jaejae na di tahuratting na ditalpok.
Asa on ma na martulimbahon tu jolma
manisia i ma: Muda tinggal marhuta bona bulu ni raja, akkon niihutkon do adat
dohot uhum ni raja. Nada tola maroban adat dohot uhum tu huta bona bulu na
nitopotkon. I ma anggo halak na paradat. Kahanggi ni raja-raja bo pe raja
siparadat siparuhum pattang do masuk marhuta bona bulu ni raja na
asing.
(T) Pangkal adat yang
kedua puluh tiga adalah: Bila berdiam di huta bona bulu seorang raja, bila mandi
harus di jae yang di tahuratting yang dipetik.
Maka inilah
pengeterapannya kepada manusia: Bila berdiam di huta bona buluseorang raja, harus mengikuti adat dan hukum raja itu. Tidak
dibolehkan membawa adat dan hukum lain ke huta bona bulu yang didatangi. Demikian
untuk orang yang beradat. Kahanggiraja atau orang yang suka
beradat berhukum, tidak layak berdiam di huta bona bulu raja yang
lain.
(A) Kebiasaan dan hukum
setempat harus dihargai. Pada zaman sekarang, sudah umum diketahui bahwa hukum
dan peraturan suatu negara berbeda dengan hukum dan peraturan negara lain.
Seseorang harus patuh kepada hukum dan peraturan negara setempat, dimana yang
bersangkutan berada. Maka sering terjadi perjanjian ekstradisi antar
negara.
I ma rapot na parjolo
di huta bona bulu Sianjur, Sianjur Mula Toppa, Sianjur Mula jadi, mula ni
raja-raja di tano Batak di pulo Morsada di Bittang 349 (Masehi
1386).
Demikianlah rapat yang
pertama dilakukan di huta bona bulu
Sianjur, Sianjur Mula Toppa, Sianjur Mula Jadi, awal raja-raja di tanah Batak di
pulau Morsada, pada Bittang 349 (Masehi 1386).
Diatas sudah
disampaikan adat Sianjur secara lengkap dari pangkal adat pertama sampai kedua
puluh tiga. Penulis berharap, tulisan ini dapat menggugah pembaca untuk
merenungkan dan menggali lebih jauh makna adat Sianjur yang sarat petuah, supaya
sesuai untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan
lahiriah maupun kehidupan batiniah/spiritual. Isinya tidak berlawanan dengan
ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam. Sebagaimanan kita ketahui, gejolak
peradaban modern saat ini membawa akibat kemerosotan dalam segala hal termasuk
krisis moral, menghadapi situasi ini, kita sebagai orang Tapanuli di rantau
harus mampu bertahan hidup, tidak tergilas oleh kegilaan zaman dengan berpegang
teguh pada nilai-nilai luhur nenek moyang.
Sumber
tulisan:
1.
Tarombo Siregar Akkola
Dolok, ditulis oleh Ronggur
Laut Dipartuan Bosar (1858), transliterasi dari huruf Batak ke huruf Latin oleh
Muslim K S Siregar Sutan Perkasa Alam (Januari 1991).
2.
Adat
Sianjur, oleh Muslim K S
Siregar Sutan Perkasa Alam (September 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar